Sekarang, di usia 56 ini, aku bisa bilang hidup rasanya jauh lebih jernih dari dulu. Bukan karena semua masalah hilang, tapi karena aku mulai ngerti: *yang berat itu bukan hidupnya, tapi cara kita melawan arusnya.* Sekarang aku udah nggak mau melawan—*aku belajar ikut mengalir, tapi tetap sadar ke mana arah arusnya bawa aku.*

Dan ini sebenarnya sudah kulakukan sejak dulu karena aku belajar meditasi, filosofi Wuwei Taoism dan filosofi Zen.

Apa yang masih aku cari?

Yang aku cari sekarang bukan lagi pencapaian, bukan juga pengakuan. Aku cuma pengin terus nemuin _ketenangan yang tetap produktif._ Aku suka banget istilah itu — tenang tapi tetap berdampak. Aku pengin setiap hari tetap bisa berkarya, tapi nggak kehilangan rasa syukur. Jadi bukan tentang kerja keras tanpa henti, tapi gimana setiap hal yang aku lakuin bisa berakar dari niat yang jernih. Esensi kehidupan Ini ku cantumkan di LinkedIn ku, sebagai gaya hidup yang menyeimbangkan doing dan being.

Apa yang sudah aku temukan?

Aku udah nemuin satu hal penting: dunia nggak harus aku kuasai supaya aku bisa menikmatinya. Aku belajar nikmatin proses, nikmatin keheningan, bahkan nikmatin ketidakpastian. Dari perjalanan mendampingi start-up Nusa.id, Gesit.id dan PasifAmal.id, sampai merawat bisnis sendiri DLI - MilihOmah - dan jualan real estate Grand Amartha Residence, aku sadar kalau semua ini bukan soal bisnis semata. Ini soal bagaimana aku belajar jadi manusia yang lebih peka—pada orang lain, pada alam, dan pada diri sendiri.

Belajar ikhlas juga, karena nusa dan gesit itu hanya seumur jagung, sekitar 3,5 tahun hidupnya.

Apa yang ingin aku wariskan?

Aku pengin ninggalin sesuatu yang bisa nular, bukan cuma dikenang. Aku nggak pengin orang inget aku dari gedung atau proyek, tapi dari nilai-nilai yang bisa mereka terusin: kerja dengan hati, bantu tanpa pamrih, dan tetap sadar dalam setiap langkah. Aku pengin anak-anak muda bisa berdiri tegak, tapi juga bisa saling sandar kalau capek.

Sekarang aku nggak lagi kejar “sampai di mana”, tapi aku nikmatin “sedang menuju ke mana”.

Aku udah nggak mau lari, aku mau jalan pelan, sambil tetap sadar tiap langkah punya maknanya sendiri. Karena buatku, warisan paling berharga itu bukan harta, tapi _cara hidup yang bikin orang lain pengin hidup dengan lebih sadar juga._